Sabtu, 08 Oktober 2011

ILMU PENGETAHUAN ALAM

PRODUKSI BIOETANOL SATU TAHAP MENGGUNAKAN BAKTERI CLOSTRIDIUM THERMOCELLUM DARI LIMBAH PRODUKSI AGAR-AGAR GRACILLARIA sp
Pendahuluan
Permasalahan serius yang dihadapi oleh banyak negara berkembangan saat ini adalah jumlah bahan bakar fosil yang sangat terbatas sementara kebutuhan terus meningkat (Budi et al. 2009). Krisis energi merupakan persoalan utama yang sampai saat ini belum dapat dipecahkan oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu yang mendasari terjadinya kelangkaan energi adalah pemakaian kendaraan bermotor berbahan bakar bensin yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut data Statistik Kepolisian Indonesia (2009) pada tahun 2005 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia berjumlah 30.706.705 kendaraan, tahun 2006 berjumlah 38.156.278 kendaraan, tahun 2007 berjumlah 45.678.990 kendaraan, tahun 2008 berjumlah 56.888.700 kendaraan dan pada tahun 2009 berjumlah 61.956.009 kendaraan. Hal ini mengakibatkan pemakaian bahan bakar minyak bumi meningkat.
Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (2009) dalam Nurfiana et al. (2009) cadangan energi bahan bakar yang ada saat ini tidak dapat diharapkan untuk jangka waktu yang lama. Ketersediaan energi fosil Indonesia dapat ilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Persediaan Energi Fosil Indonesia
Sumber : Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (2008)
Lebih lanjut menurut Umi (2009) apabila tidak ditemukan cadangan terbukti baru, minyak bumi diperkirakan akan habis dalam waktu kurang dari 10 tahun, gas bumi 30 tahun, dan batubara akan habis sekitar 50 tahun. Diprediksikan pada tahun 2012, jumlah impor bahan bakar minyak (BBM) akan meningkat menjadi sekitar 60%-70% dari kebutuhan dalam negeri. Fakta itu akan menjadikan Indonesia pengimpor BBM terbesar di Asia (Suara Merdeka, 23 Oktober 2008.) Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah inovasi untuk menghasilkan altrenatif energi baru masa depan. Energi baru ini selain harus mampu menggunakan bahan lokal yang tersedia juga harus mempertimbangkan aspek sustainable dari bahan bakar baru tersebut.
Di sisi lain pemanasan global yang diakibatkan oleh pemakaian bahan bakar fosil semakin terasa dan mengakibatkan ancaman lingkungan (Budi et al. 2009). Hal ini semakin mendorong dikembangkannya bahan bakar alternatif yang bersifat terbarukan dan konservasi energi. Ancaman lingkungan yang berpotensi untuk terjadi adalah polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak kesehatan bagi manusia, hewan bahkan lingkungan flora. Polusi berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrocarbon), juga unsur metalik seperti timbal (Pb). Bahkan ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential) (Dunan 2009). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan.
Salah satu bentuk dari energi terbarukan adalah energi biomassa. Energi biomassa berasal dari bahan organik dan sangat beragam jenisnya Gusmarwani (2009). Sumber energi biomassa dapat berasal dari tanaman perkebunan atau pertanian, hutan, atau bahkan limbah, baik limbah domestik maupun limbah pertanian. Biomassa dapat digunakan untuk sumber energi langsung maupun dikonversi menjadi bahan bakar (Gusmarwani 2009). Penggunaan biomassa sebagai sumber energi ini tidak akan menyebabkan terjadinya penumpukan gas CO2 karena menurut Surambo (2010) gas CO2 yang dihasilkan oleh reaksi pembakaran dipakai untuk pembentukan biomassa itu sendiri. Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang elah dikembangkan terdiri dari pembakaran langsung dan konversi biomassa menjadi bahan bakar. Hasil konversi biomassa ini dapat berupa biogas, bioetanol, biodiesel, arang dan sebagainya. Bioetanol dan biodiesel dalam jangka panjang diharapkan dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak (Megawati 2007).
Bioetanol dapat dibuat dari biomassa berbasis pati atau berbasis lignoselulosa (Ibrahim 2008). Namun biomassa berbasis pati umumnya dimanfaatkan sebagai makanan atau pakan, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan baku bioetanol dapat mengganggu penyediaan makanan atau pakan. Hal ini tentunya tidak baik untuk program ketahanan pangan dan pakan Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan biomassa berbasis lignoselulosa perlu dikembangkan. Contoh biomassa berbasis lignoselulosa adalah kayu, tongkol, bonggol dan rumput laut.
Sebagai negera kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km, Indonesia mempunyai potensi besar sebagai penghasil rumput laut. Beberapa jenis rumput laut bernilai ekonomis tersebar di perairan pantai Indonesia yaitu Eucheuma, Gelidium, Gracilaria, Gelidiella dan Hypnea (Zatnika 2008). Dari data lima tahun terakhir produksi rumput laut Indonesia mencapai 7.600 ton per tahun. Maluku adalah daerah produksi terbesar di Indonesia yaitu 78 % dari total produksi, akan tetapi ekspor terbesar justru melalui pelabuhan Ujung Pandang dan sedikit sekali yang melalui Ambon.
Daerah penghasil rumput laut yang besar sampai sekarang adalah Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggar Timur, dan Maluku. Daerah penghasil lainnya yaitu Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Pantai Jawa sebelah selatan, Kepulauan Seribu, Karimun Jawa, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Jenis Gracilaria sp. telah dibudidayakan di daerah Lamongan, Jawa Timur, Pangkep dan Okaler di Sulawesi Selatan (Angka dan Suhartono, 2000). Gracilaria sp. Merupakan jenis yang paling banyak dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan agar-agar.
Limbah industri agar-agar (Gracillaria sp) merupakan salah satu sumber bahan baku bioetanol yang potensial. Berdasarkan hasil penelitian oleh Tim Riset Rekayasa Alat, Balai Riset Kelautan dan Perikanan (2003), limbah industri agar-agar memiliki kandungan selulosa 45,9%. Selain itu, satu pabrik besar agar-agar dengan kapasitas produksi 80 ton per bulan dapat menghasilkan limbah serat sebanyak 56 ton per bulan (Ujiani, 2007). Jumlah limbah industri agar-agar yang sangat tinggi tersebut merupakan potensi yang sangat besar untuk dijadikan bahan bietanol dalam industri kertas.
Ada beberapa cara yang digunakan orang dalam memproduksi bioetanol umumnya dari bahan berselulase. Pertama adalah menggunakan asam kuat seperti H2SO dengan konsentrasi di atas 10 M. Dalam keadaan asam ligniselulosa dapat terhidrolisis menjadi glukosa yang selanjutnya dipisahkan dan kemudain difermentasi menjadi etanol. Menurut Riyanti (2009) efisiensi dari proses ini masih rendah karena proses yang dilakukan cukup panjang dan membutuhkan banyak tahap. Kekurangan lain dari proses ini adalah penanganan limbah asam yang tidak mudah.
Cara lain proses konversi selulosa menjadi etanol adalah menggunakan enzim selulase. Enzim ini dapat menghidrolisis selulosa menjadi gula dengan reaksi berikut:
Selanjutnya gula yang dihasilkan dalam proses tersebut akan difermentasi menjadi etanol. Proses fermentasi dilakukan secara bersamaan dalam suatu reactor hidrolisis sehingga prosesnya lebih singkat ketimbang menggunakan cairan asam. Kendala utama sistem ini adalah harga enzim selulase yang mahal dan hanya bisa digunakan sekali sehingga biaya produksi membengkak. Selain itu, menurut Khumaini et al. (2009) efisiensi proses ini masih rendah karena selulase yang dihidrolisis membentuk kompleks dengan lignin menjadi ligninselulase yang sukar dihidrolisis.
Berdasarkan penelitian Karimi et al. (2009) dan Abedinifar et al. (2009) terdapat spesies Jamur seperti Mucor indiscus dan bakteri Clostridium thermocellum yang dapat menghasilkan enzim ligniselulase yang dapat menghidrolisis ligniselulosa menjadi lignin dan gula yang selanjutnya oleh bakteri yang sama difermentasi menjadi etanol. Penggunaan bakteri memberi keuntungan lain yakni mudah untuk berkembang biak, sehingga untuk produksi etanol cukup membeli Clostridium thermocellum sekali maka akan lebih murah. Selain itu dengan kuantitas yang lebih banyak maka akan proses pembentukan etanol akan lebih cepat.
Hidrolisis
Prinsip dari hidrolisis pati ini pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu. Sedangkan untuk pembuatan etanol dengan bahan baku selulosa, hidrolisisnya meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa lignoselulosa, yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula penyusunnya.
Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik. Meskipun demikian, produk akhir etanol yang dimaksudkan merupakan konversi dari glukosa yang didapat baik dari pati maupun selulosa. Di dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan dengan asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan menghasilkan monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H2SO4), asam perklorat, dan HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer (Taherzadeh & Karimi, 2007).
Fermentasi
Tahap selanjutnya pada produksi bioetanol adalah proses fermentasi. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal. Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Dalam proses produksi bioetanol fermentasi dimaksudkan untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP), sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol (Amerine et al., 1987). Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol oleh pati adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32o
Destilasi
Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Metode ini merupakan termasuk unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan menguap pada titik didihnya. Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan etanol).
Clostridium thermocellum
Clostridium thermocellum adalah bakteri termofilik yang anaerobik memiliki kemampuan mendegradasi selulosa kompleks ke bentuk etanol (Ulbrik 1991). Selain Clostridium thermocellum, bakteri termofilik anaerob lain, Clostridium stercorarium, baru-baru ini diketahui mempunyai pula sifat selulolitik pula. Menutut Viljoen, et al. (1980) bahwa C thermocellum didapat setelah mengisolasi dari kotoran kuda. Bakteri Clostridium thermocellum tersebar luas di alam, habitatnya adalah bahan organik yang di dekomposisi. Clostridium thermocellum dapat pula ditemukan di pengolahan limbah pertanian, saluran pencernaan, lumpur, tanah, dan mata air panas . Clostridium thermocellum dapat tumbuh di lingkungan anaerobiosis dan temperatur termofilik. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 60-64 °C dan pH optimum berkisar 6,1-7,5.
Agar-agar
Agar-agar merupakan fikokoloid pertama yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan. Agar-agar adalah hidrokoloid rumput laut yang memiliki kekuatan gel sangat kuat (Armisen dan Galatas, 2000). Menurut Anggadiredjo (2006), agar-agar dihasilkan melalui proses ekstraksi rumput laut kelas Rhodophyseae. Hasil ekstraksi tersebut merupakan senyawa polisakarida dengan rantai panjang yang disusun-ulangan dari dua unit, yaitu agarose dan agaropektin. Agarose merupakan senyawa agar yang telah dipisahkan dari unit agaropektin dengan mutan listrik mendekati netral. Oleh karena itu, senyawa ini memiliki kemampuan membentuk gel yang kuat sehingga banyak dimanfaatkan dalam bidang bioteknologi, seperti elektroforesis, imunologi, kromatografi, dan berbagai proses bioteknologi lainnya. Kandungan agarose dalam agar-agar berkisar antara 50-90% dan perbandingan komposisinya tergantung pada jenis rumput laut yang digunakan (Glicksman, 1983).
Deskripsi Gracilaria sp.
Gracilaria sp (bahasa Latin gracilis yang berarti langsing) merupakan rumput laut penghasil agar-agar (agarophyta) yang memiliki nilai komersial tinggi dan tersebar di laut temperate dan tropis. Organisme ini telah diketahui dapat tumbuh dengan lebih baik pada perairan dangkal serta memiliki intensitas cahaya yang tinggi. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 20-28oC serta dapat hidup pada kisaran salinitas yang tinggi (Susanto, 2008). Jenis rumput laut ini merupakan ganggang yang paling baik untuk dibudidayakan karena beberapa faktor, yaitu mudah diperoleh, harganya murah dan dapat menghasilkan agar-agar tiga (3) kali lipat dibandingkan dengan jenis lainnya (Tim Penulis PS, 1999).
Komponen utama alga adalah polisakarida yang dapat mencapai 40 -70 % serat kering, bergantung pada jenis dan keadaan habitatnya (Angka dan Suhartono, 2000). Kandungan agar dalam Gracilaria spbervariasi menurut spesies dan habitatnya (berkisar antara 16–45 %). Kandungan agar-agar pada Gracilaria sp di Indonesia umumnya mencapai 47,34 %. (Yunizal, 2002). Tabel 4 menunjukan komposisi kimia Gracilaria sp kering.

Daerah penghasil rumput laut yang besar sampai sekarang adalah Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggar Timur, dan Maluku. Daerah penghasil lainnya yaitu Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Pantai Jawa sebelah selatan, Kepulauan Seribu, Karimun Jawa, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Jenis Gracilaria sp telah dibudidayakan di daerah Lamongan, Jawa Timur, Pangkep dan Okaler di Sulawesi Selatan (Angka dan Suhartono, 2000).
Bahan dan Alat
Peralatan dan bahan yang digunakan saat memproduksi bioetanol dengan metode satu tahap, sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan metode produksi tiga tahap, karena prinsip pembuatannya sama. Hanya saja yang membedakannya adalah peranan bakteri didalamnya. Adapun bahan yang dipergunakan pada proses produksi ini antara lain limbah agar-agar dan biakan bakteri Clostridium thermocellum. Sedangkan, alat yang digunakan pada produksi bioetanol ini terutama mesin pemrosesan yang terdiri dari:
1. Ruang reaktor dan pengaduk
Ruang ini berfungsi sebagai ruang pembiakan dan pemeliharaan bakteri (Clostridium thermocellum). Fungsi pengaduk antara lain untuk menjaga imobilisasi bakteri dan melakukan proses aerasi yang hampir sama dengan fungsi pengaduk dalam bioreaktor. Selain itu, perlu juga dilakukan penjagaan kondisi-kondisi yang diperlukan oleh bakteri untuk tumbuh dan berkembang secara optimal antara lain pengaturan pH, kadar air, suhu, dan tekanan.
2. Ruang pemanasan
Ruang pemanas merupakan suatu tempat pembakaran untuk memperoleh energi panas yang berfungsi sebagai penunjang proses destilasi. Panas ini bisa dihasilkan oleh uap (boiler) ataupun dari pemanasan api langsung. Namun, kondisi suhu seperti ini perlu dilakukan pengaturan agar stabil dan mudah diatur sesuai dengan yang dibutuhkan oleh reaktor.
3. Pompa penghisap
Dalam hal ini, pompa penghisap berfungsi sebagai penghisap gas etanol yang dihasilkan dari destilasi untuk dibawa ke alat kondensasi (kondensor). Secara manual, alat ini bisa ditiadakan dengan asumsi bahwa gas etanol yang dihasilkan akan mampu melakukan perpindahan ke kondensor meskipun tidak seefektif jika menggunakan pompa penghisap.
4. Kondensor
Merupakan suatu alat yang digunakan untuk mendinginkan gas etanol yang menguap saat proses destilasi. Sehingga pada saat pengembunan, gas etanol tersebut akan mencair kembali menjadi etanol yang sudah bersifat murni seperti yang diharapkan. Dalam kondensor ini terjadi kondensasi dalam bentuk pipa yang melekuk-melekuk (spiral) dengan maksud untuk memperluas permukaan kondensor saat diberikan suhu dingin dari luar.
5. Penampung bioetanol
Sebagai sarana/wadah penyimpanan sementara bioetanol sebelum digunakan atau dikemas (jika dikomersilkan). Wadah yang dimaksud harus memenhui standar agar mutu bioetanol tetap terjaga hingga pemanfaatannya, yakni meliputi pengaruh suhu dan tekanannya.
Gambar 5. Mesin produksi bioetanol 1 tahap
Proses Produksi Bioetanol

Gambar 6. Aliran produksi Bioetanol 1 tahap
Proses produksi dengan 3 tahap, setiap tahapannya dilakukan dengan pembagian ruang dan waktu tertentu. Tahap hidrolisis oleh suatu bakteri akan menghasilkan glukosa, kemudian pada proses fermentasi ada pula yang menggunakan jenis bakteri yang berbeda saat menghiodrilis pati/selolusa. Hal ini dikarenakan ada beberapa bakteri yang tidak mampu melakukan kedua tahap tersebut. Setelah fermentasi berhasil dilakukan, maka hasil fermentasi tersebut dibawa lagi ke tempat destilasi untuk melakukan pemurnian etanol 99% dari bahan lain. Hal ini dinilai kurang efisien dan efektif karena perpindahan tempat selain memakanbiaya dan tempat juga relatif lebih lama, sehingga sulit untuk menjaga kekontinuitasannya.
Dengan menerapkan metode produksi satu tahap, ketiga tahap yang dimaksud tersebut langsung dilaksanakan pada satu tempat. Limbah agar-agar awalnya dibuat menjadi ekstrak, hal ini dimaksudkan untuk membersihkan limbah agar dari komponen lainnya dengan asumsi perlakuan yang tidak merusak selulosa yang ada di dalam limbah. Limbah kemudian dimasukkan melalui tempat yang telah disediakan ke reaktor (lihat gambar 4). Didalam reaktor tersebut terdapat biakan Clostridium thermocellum yang sebelumnya telah disediakan. Bakteri ini mampu menghidrolisis selulosa menjadi glukosa sekaligus melakukan fermentasi dari glukosa yang dihasilkan olehnya sendiri. Maka, didalam reaktor tersebut akan terdapat pula produk fermentasi yang dimaksud berupa etanol. Secara bersamaan, ruang pemanas akan terus mensuplai panas ke reaktor, antara 70-100oC.
Hal ini dilakukan sesuai dengan kondisi optimum yang dimiliki oleh bakteri Clostridium thermocellum untuk tumbuh dan beraktivitas sekaligus suhu yang memungkinkan agar etanol menguap menjadi gas. Pemanas yang dimaksudkan dapat dilakukan/diberikaan langsung dari api pembakaran, maupun boiler. Dalam hal ini lebih disarankan untuk menggunakan boiler agar mudah dalam pengaturan suhu dan tekanannya. Pengaduk dalam reaktor selalu berputar, hal ini dimaksudkan untuk menjaga mobilitas dari bakteri sehingga dapat dipergunakan secara kontinu serta menjagaa aerasi standar yang dibutuhkan oleh bakteri tersebut untuk hidup.
Dengan bantuan dari pompa penghisap, gas etanol akan masuk kedalam ruang kondensor untuk guna melakuakan proses kondensasi/pengembunan. Embun yang diperoleh dari kondensasi tersebutlah yang kemudian akan menjadi bioetanol dan ditampunng dalam wadah sementara dengan pengaturan suhu dan tekanan yang menjaga mutu dari bioetanol sebelum digunakan/ dikomersialisasikan ke masyarakat. Produksi ini mampu berjalan secara kontinu, asalkan pasokan limbah agar-agar yang mengandung selulosa tersebut tetap tersedia, serta perawatan terhadap alat dan bakteri di dalamnya terjaga. Artinya, bakteri yang ada di dalam reaktor harus tetap diawasi agar tetap hidup dan mampu melakukan aktivitas metabolismenya secara optimal.
Pihak Pengembangan
Permainan bioetanol dengan Clostridium thermocellum berbahan baku limbah indsutri agar-agar membutuhkan kerjasama antar berbagai kelompok massa yang peduli terhadap generasi bangsa. Kerjasama ini berlangsung secara singular atau melingkar. Kelompok massa tersebut digambarkan sebagai berikut :
a) Akademisi
Akademisi bertugas untuk mengkaji berbagai macam aspek mengenai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkembangan anak usia dini. Akademisi yang berspesialisasi dalam teknologi bioproses akan memberikan poin-poin terkait penting bagaimana menghasilkan biotenal optimal, bagaimana proses yang efisien, dan aspek ilmu pengetahuan lain, yang digunakan sebagai masukan baik dari pemasok bahan baku dan produsen bioetanol. Masukan akan diproses dengan mempertimbangkan aspek Ilmu pengethuan yang terkait. Selanjutnya output dari akademisi akan diberikan kepada bagian produksi bioetanol dan penyediaa bahan baku limbah industri agar-agar.
b) Pemasok bahan baku
Pemasok bahan baku wajib bertanggung jawab dalam kontinuitas pasokan input yang akan berdampak pada kontinuitas output. Selain itu pemasok bahan baku juga bertugas dalam standar kualitas bahan baku yakni limbah industri agar-agar sesuai dengan masukan yang diperoleh dari akademisi.
c) Produsen Bioetanol
Produsen Bioetanol merupakan basis produksi bentuk fisik bioetanol dengan menggunakan Clostridium thermocellum. Produsen bekerja dengan masukan analisis pengetahuan yang didapat dari akademisi. Hal tersebut kemudian diterapkan dalam bentuk bioetanol yang diproses dengan Clostridium thermocellum. Percetakan dapat dilakukan oleh massa bisnis murni produsen bioetanol ataupun mahasiswa dengan penerapan analisis ekonomi. Dana bisnis didapat dari peminjaman modal lembaga keuangan atau hibah pemerintah ataupun modal swadaya. Massa bisnis akan menerima keuntungan dari hasil penjualan bioetanol kepada masyarakat.
d) Pemerintah
Pemerintah yang meliputi Kementerian Sosial, Energi Sumber Daya Minerl dan Lingkungan Hidup berperan dalam penyedia dana produksi fisik bioetanol. Pendanaan dapat berupa sistem hibah maupun kredit kepada unit bisnis produksi bioetanol. Selain itu pemerintah juga berperan dalam sosialisai bioetanol dari limbah industri agar-agar dengan Clostridium thermocellum kepada masyarakat luas sehingga bioetanol dapat diterapkan secara maksimal.
e) Masyarakat
Masyarakat berperan sebagai konsumen bioetanol. Selain itu masyarakat juga merupakan kontrol bagi akademisi dalam pengembangan produk bioetanol kedepan. Masyarakat memberikan pendapat mengenai kekurangan bioetanol dari limbah industri agar-agar dengan menggunakan bakterio Clostridium thermocellum.
Penutup
Krisis energi yang dialami dunia sekaligus efek gas rumah kaca memaksa manusia untuk mencari alternatif energi baru yang sustainable dan ramah lingkungan. Bioetanol adalah salah satu alternatif efektif dalam menjawab tantangan tersebut. Produksi bioetanol secara efisien dapat dilakukan dengan bakteri Clostridium thermocellum dengan bahan baku limbah industri agar-agar Gracillaria sp.

0 komentar: